Cerdas Intelektual Emosional dan Spiritual
Toni Buzan penulis buku laris Head Strong berkata, ” Otak manusia itu
bagaikan raksasa sedang tidur. Para neurolog memang membuktikan segala
sesuatu bermula dari organ otak, ” katanya. Setelah era kecerdasan
intelektual berlalu, para psikolog meyakini ada kecerdasan lain yang
juga penting yaitu, kecerdasan emosional dan spiritual. Semua
dikendalikan oleh pikiran.
Jika kecerdasan intelektual membuat seseorang pandai, lalu kecerdasan
emosional menjadikannya bisa mengendalikan diri, maka kecerdasan
spiritual memungkinkan hidupnya punya arti bagi diri sendiri dan orang
lain. Ia adalah sebagai satu-satunya kecerdasan tertinggi yang setiap
orang belum tentu bisa mencapainya dalam hidup ini.
Seminar kecerdasan anak sekarang ini begitu gencar dipasarkan lewat
iklan radio, televisi dan surat kabar. Tentu saja orang tua anak yang
ikut seminar sangat bangga dan berbesar hati manakala seminar ini
menjadikan anaknya pandai, cerdas dan mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apa betul kecerdasaan otak atau intelektual nantinya bisa
mengubah hidup seseorang menjadi baik atau bahkan buruk ?
Jawabannya….kecerdasan intelektual bukan faktor utama yang menentukan
kesuksesan hidup seseorang. Ada faktor lain yang lebih menentukan dan
berperan. Goleman bahkan berpendapat, kecerdasan intelektual hanya
menyumbang sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup seseorang.
Dalam buku Emotional Intelegence, Daniel Goleman menceritakan
pengamatannya selama bertahun-tahun terhadap perkembangan lulusan
Harvard University. Di sini terdeteksi mahasiswa saat kuliah nilainya
pas-pasan saja tetapi berhasil dan bahagia dalam hidupnya. Artinya tidak
sukses dalam kuliah tetapi sukses dalam praktek kehidupan sosialnya.
Sebaliknya banyak mahasiswa ketika kuliah nilainya duduk di peringkat
pertama, namun tidak sukses dalam hidup sosialnya.
Dalam kondisi hidup sehari-hari pun kita sering menjumpai orang-orang
seperti itu. Mungkin tetangga, keluarga, kawan lama, kawan sekolah,
sahabat di dunia maya bahkan Anda sendiri. Ini membuktikan bahwa
kecerdasan intelektual bukan faktor utama penentu keberhasilan dan
kesuksesan hidup seseorang. Ada faktor lain yang lebih berperan.
Goleman bahkan berpendapat kecerdasan intelektual hanya menyumbang
sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup seseorang. Selebihnya adalah
faktor di luar kecerdasan itu. Salah satunya yang sangat penting yaitu
kecerdasan emosional.
Dalam kehidupan sehari-hari orang sering menyamakan istilah
kecerdasan intelektual dengan intelligence qoutient (IQ). Padahal
keduanya berbeda. IQ sebenarnya merujuk kepada angka relatif untuk
menunjukkan tingkat kecerdasan intelektual. Sekedar contoh, seorang anak
yang usia kalendernya baru 8 tahun, tapi bisa mengerjakan tugas sekolah
anak usia 10 tahun dalam pelajaran matematika. Berarti IQ anak adalah
10/8 x 100 alias 125. Dengan kata lain tingkat kecerdasan intelektualnya
di atas rata-rata.
Sebaliknya jika usia kalender anak sepuluh tahun tapi usia mentalnya
baru delapan tahun berarti IQ nya 8/10 x 100 atau 80. Artinya tingkat
kecerdasan intelektual anak ini di bawah rata-rata. Pada umumnya orang
menunjuk kecerdasan intelektual yang selama ini dikenal dengan istilah
pinter. Namun sesuai dengan perkembangan jiwa manusia, maka muncul
kecerdasan emosional (emotional intelligence) sebagai jenis kecerdasan
lain yang dimiliki manusia.
Sekali pun diakui kecerdasan emotional tidak bisa diukur secara
eksakta seperti halnya kecerdasan intelktual, kecerdasan ini bisa kita
asah dan latih melalui olah jiwa. Yang jelas IQ dan EI adalah dua hal
yang integral di dalam jati diri manusia. Keduanya saling bersinergi
satu sama lain. Menurut Sartono Mukadis, Psikolog dalam Mind Body and
Soul Intisari menyebutkan dalam praktiknya ada lima komponen penting
menjadi ciri kecerdasan emosional, yakni self awareness, self
regulation, empati, motivasi dan social skills.
Kelima komponen tadi dalam ilmu psikologi sering disinggung dalam
mata kuliah. Sedangkan pelatihan di luar bangku kuliah berbentuk
lokakarya yang bertujuan mendewasakan kecerdasan emosional seseorang
melalui pelatihan khusus setingkat lebih tinggi dari kelas reiki.
Pelatihan ini disebut G’Tumo Esoterik yang menekankan pada pengolahan
energi dan menyalurkannya untuk suatu kepentingan tertentu.
G’Tumo Esoterik dalam kelas reiki lebih menekankan pada aspek
kedewasaan emosional. G’Tumo Esoterik memang berbeda dengan Reiki aliran
G’Tumo. Dalam postingan lalu sehat dengan waskita reiki pernah
menyinggung bahwa reiki adalah ilmu penyembuhan yang mengacu pada
tradisi Tibet, sedangkan G’Tumo Esoterik adalah ilmu yang lebih menjurus
pada pengolahan energi.
Menurut Ciptadinata Effendi dalam buletin seminar G’Tumo Esoterik
menulis, dalam perkembangan zaman sejarah mencatat bahwa orang-orang
yang memiliki kemampuan kecerdasan yang luar biasa, bahkan disebut
genius alias super pinter, namun karena tidak diimbangi dengan
kedewasaan emosional, ternyata bukan saja tidak berguna bagi sesama
manusia, malahan ternyata menghancurkan kehidupan orang lain. Sebalikna
ada anggapan lain berpendapat bahwa kalau dua aspek yaitu kecerdasan
intelektual dan kedewasaan emosional mampu dipertahankan ada dalam diri
seseorang, maka ia akan mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
Contoh hangat yang menjadi berita tempo hari adalah kasus pembobolan
dana nasabah bank yang dilakukan oleh orang pintar dan berpendidikan
tinggi khususnya di bidang IT. Orang ini mampu membuat progam dan
menggandakan kartu ATM fiktif untuk tujuan menarik dana yang bukan
haknya. Karena tidak diimbangi dengan kedewasaan emosional maka tindakan
melawan hukum dilakukan demi kepentingan pribadi yaitu mencuri uang
orang lain lewat perangkat ATM. Akibatnya banyak orang lain menjadi
korban karena keisengannya ini. Ia bersenang-senang di atas penderitaan
orang lain.
Zaman terus berubah sesuai dengan perkembangan waktu. Pendapat bahwa
kecerdasaan intelektual dan kedewasaan emosional yang seimbang harus
dipertahankan, akhirnya dikoreksi juga. Disebutkan bahwa seseorang baru
dikatakan masuk ke dalam tahap pencerahan apabila di dalam perjalanan
hidupnya mampu menerapkan ketiga aspek secara seimbang di antaranya
kecerdasan intelktual, kedewasaan emosional dan kematangan spiritual.
Bagaimana mencapai tingkat ini agar menjadi balan (seimbang dalam
hidup)?
Salah satu cara menuju keseimbangan ketiga aspek tadi dengan melatih
meditasi keseimbangan. Meditasi ini dilakukan dalam upaya memberikan
suatu kerangka dalam hidup kita, tentang pola hidup bagaimana yang ingin
kita terapkan dalam perjalanan hidup kita. Sekali pun meditasi ini
bukanlah jaminan bahwa apa yang kita inginkan pasti tercapai, namun
setidaknya jalan menuju ke tingkat hidup yang lebih luhur telah ada di
depan mata kita. Tergantung bagaimana kita akan menjalaninya.
Bahkan menurut hasil penelitian di Australia, seandainya setiap orang
mau meluangkan waktunya hanya 5 menit saja setiap harinya untuk
melakukan meditasi, maka akan menjadi jaminan bagi dirinya, sampai setua
apa pun tidak akan pikun, dapat hidup mandiri tanpa harus
menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain. Karena itu tujuan
pelatihan G’Tumo Esoterik mengharuskan setiap praktisinya menjalankan
meditasi dalam keseimbangan. Tujuan meditasi ini menuju hidup sehat jiwa
dan raga menuju pencerahan.
0 komentar:
Posting Komentar